Klenteng kota Magelang

Jika anda berkunjung ke Magelang, luangkan waktu untuk datang ke sebuah klenteng di jalan Alun-Alun Selatan nomor 2 Magelang. Klenteng Liong Hok Bio.

Patung Pangeran Diponegoro

Di alun-alun Kota Magelang terdapat patung Pangeran Diponegoro sedang berkuda. Saya sudah terkesima dengan patung ini bahkan ketika baru lancar ...

Taman Kyai Langgeng

Berlokasi sekitar 1 kilometer dari pusat kota Magelang, tepatnya ke arah selatan atau sekitar 19 Kilometer dari Candi Borobudur.

Candi Borobudur

Borobudur, Pawon, dan Mendut terbujur dalam satu garis lurus yang menunjukan kesatuan perlambang Terletak sekitar 40 kilometer (25 mil) barat laut dari Kota Yogyakarta,

Taman Badaan

Taman Badaan, begitu masyarakat setempat menyebut taman bermain ini, mempunyai letak yang strategis. Hanya membutuhkan waktu 5 menit perjalanan dari alun-alun Kota Magelang, yaitu di Jalan Pahlawan, Kota Magelang.

mivo.tv

Jumat, 28 September 2012

SMP Negeri 4

SMP Negeri 4 merupakan sekolah tua yang memiliki luas tanah 5.600 m2 terletak di Jalan Pahlawan No. 41 Kota Magelang. Dari segi wilayah, sekolah ini berada di Kampung Botton, Kelurahan Magelang, Kecamatan Magelang Utara, Kota Magelang. Lulusan pertama sekolah ini sekitar tahun 1977. Sedangkan berdasarkan beberapa informasi yang ada, gedung sekolah ini dibangun pada tahun 1911. Pada masa itu kota Magelang hanya terdapat empat sekolah tingkat menengah, yaitu MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), Sekolah Yayasan Kristen, Sekolah Menengah milik Perguruan Taman Siswa dan Sekolah Menengah Tingkat Atas MOSVIA (Middlebare Opleiding School Voor Inlandische Ambtenaren). MOSVIA adalah Sekolah yang mendidik calon-calon Pamong Praja. Sebelum SMP N 4 Magelang berdiri , Gedung Sekolah ini digunakan untuk Sekolah Menengah Ekonomi Pertama ( SMEP ) Magelang.
            Dalam perjalanannya, sekolah ini telah memberi sumbangsih yang besar terhadap bangsa dan Negara serta masyarakat. Bukan karena faktor usianya yang tua, melainkan kualitas dan kiprah sekolah dalam menyiapkan lulusan yang bermutu. Begitu banyak alumni yang sukses dalam meniti karier dan mewujudkan karyanya. Kenyataan menunjukkan hal yang dilematis mengingat kurang adanya keseimbangan antara kualitas yang dihasilkan dengan sarana pendukung yang ada. Di satu sisi kami memang sangat bersyukur, walaupun dengan kondisi prasarana pendukung yang sangat minim masih dapat menunjukkan hasil yang baik. Namun demikian, alangkah bijaknya apabila hasil yang baik serta semangat yang tinggi dalam menampilkan prestasi yang maksimal diimbangi dengan perhatian serta bantuan yang memadai untuk lebih majunya sekolah ini

Kamis, 27 September 2012

SMP Negeri 2 Magelang

Kota Magelang yang terletak pada ketinggian 380m di atas permukaan laut dengan posisi pada 70 Bujur Timur, merupakan salah satu kota di Jawa Tengah yang menempati sangat strategis, karena terletak di tengah pulau Jawa dan berada di persimpangan poros utama : Yogyakarta - Semarang; Yogyakarta - Wonosobo; Semarang - Kebumen - Cilacap. Jaraknya 65 km dari Kota Semarang dan 42 km dari Kota Yogyakarta.
Di samping itu, kota Magelang juga dikelilingi oleh gunung-gunung dan bukit-bukit seperti : Sindoro, Sumbing, Perahu, Telomoyo, Merbabu, Merapi, Andong dan Menoreh serta bukit kecil "Bukit Tidar"
Di area tanah seluas 7.285m2 atau tepatnya di jalan Pierre Tendean No. 8 Magelang berdiri bangunan kuno nan kokoh yakni SMP Negeri 2 Magelang yang didirikan pada tanggal 1 Juli 1950 yang tercatat pada statistic dengan nomor : 201036002002 dan Nomor Induk Sekolah 20 00 20.
SMP Negeri 2 Magelang merupakan lembaga menengah tingkat pertama yang berada dibawah naungan Dinas Pendidikan Kota Magelang. Sekolah ini memiliki sejarah cukup panjang. Pada awal berdirinya tahun 1950, sekolah ini masih menginduk ke SMP Negeri 1 Magelang. Sekolah ini secara resmi menerima pengakuan dari pemerintah Republik Indonesia tentang pendirian sekolah tertanggal 1 Juli 1950. Hal ini tercantum dalam dokumen pendirian sekolah. Namun demikian proses pembelajaran tetap dilaksanakan di SMP Negeri 1 Magelang di jalan Pahlawan No. 66 Magelang mengingat belum mempunyai gedung.
Tahun 1955 SMP Negeri 2 Magelang baru dapat memiliki tempat pendidikan. Tempat itu semula merupakan kantor kawedanan Magelang itu pun masih terbuat dari bangunan setengah tembok, artinya separuh bata separuh pagar bambu/kayu. Keadaan semacam ini berlangsung hingga tahun 1975. Selanjutnya disempurnakan pagar bangunan sekolah dengan bata hingga menjadi gedung sekolah yang terdiri 1 ruang kepala sekolah, 1 ruang tata usaha, 9 ruang kelas, 1 ruang kegiatan siswa, 1 ruang penjaga sekolah, 1 kantin, 1 gudang, 2 kamar kecil guru, 5 kamar kecil siswa dan 1 aula pertemuan yang dulu disebut dengan nama Balai Pelajar. Seluruh bangunan berdiri diatas tanah seluas 7285 m2

Selasa, 25 September 2012

SMP Negeri 1 Magelang

SMP Negeri 1 Magelang menempati gedung sekolah bekas peninggalan zaman Belanda yang hingga kini telah beberapa kali direnovasi. SMP Negeri 1 Magelang memiliki berbagai cerita bersejarah yang berkaitan dengan perjuangan zaman penjajahan. SMP Negeri 1 Magelang memiliki luas 7.717 m yang terletak di Jalan Pahlawan 66 Kota Magelang. Dari segi wilayah, sekolah ini berada di Kampung Botton, Kelurahan Magelang, Kecamatan Magelang Utara, Kota Magelang. Lembaga pendidikan ini berdiri pada masa penjajahan Jepang, yaitu tahun 1942. Pada masa itu lebih dikenal dengan nama SMP Botton, karena letaknya berada di Kampung Botton. Sekolah menengah pada masa penjajahan Jepang diberi nama "Syoto Chu Gakko" (Prastowo, 1945 : 17).
Di Kota Magelang pada masa Hindia Belanda hanya terdapat empat Sekolah tingkat menengah, yaitu MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), Sekolah Yayasan Kristen, Sekolah Menengah milik Perguruan Taman Siswa dan Sekolah Menengah tingkat atas MOSVIA (Midlebare Opleiding School Vor Inlandiche Ambtenaren). MOSVIA adalah Sekolah yang mendidik calon-calon Pamong Praja. Saat dibukanya SMP Magelang yang terletak di Jalan Botton (sekarang Jalan Pahlawan) sekolah tersebut baru mempunyai 4 kelas, dengan jumlah guru 4 orang, yaitu Bapak Soetedjo Atmodipoerwo (merangkap direktur), Bapak Soediman, Bapak Mardiyo dan Bapak P. Siagian (Prastowo, 1945 : 18). Mata Pelajaran yang disajikan adalah Pelajaran Umum, disamping Bahasa Jepang serta Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Kegiatan Belajar Mengajar pada saat itu harus disesuaikan dengan Kurikulum dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh penguasa Jepang.
Dibandingkan dengan Sekolah lain, SMP Negeri 1 Magelang memiliki nilai perjuangan yang ikut serta dalam meraih dan mempertahankan Kemerdekaan dari penjajah Jepang. Hal ini terbukti bahwa di lokasi lingkungan sekolah, terdapat tugu Pahlawan "Rantai Kencana", untuk mengenang 3 orang siswa yang gugur membela gurunya yang pada waktu itu disekap oleh tentara Jepang. Siswa yang gugur diantaranya Prapto Kecik, Soeprayitno dan Surono ( Panitia Reuni, 1995 : 9 ). Nama rantai Kencana diambil dari Organisasi Siswa, yang pada saat ini setaraf dengan OSIS. Pencetusan nama Rantai Kencana merupakan hasil musyawarah pada pertemuan antara perwakilan siswa yang bernama Nakula Soenarto (kini Prof. Dr. Dipl. Ing. Dan Guru Besar pada Fakultas Teknik UI) dengan Bapak Soetedjo Atmodipoerwo (direktur).
Untuk mengabadikan Rantai Kencana, sampai saat ini nama tersebut dipakai untuk nama kelompok Drum Band SMP Negeri 1 Magelang serta nama majalah dinding sekolah. Perlu diketahui bahwa pada tangal 26 Oktober 1994, Ibu Mien Sugandi (mantan Menteri Negara UPW) berkenan hadir di SMP Negeri 1 Magelang untuk meresmikan tugu Pahlawan Rantai Kencana dan dalam rangka Reuni Besar Paguyuban Rantai Kencana. Disamping Ibu Mien Sugandi dan Ibu Inten Suweno (mantan Menteri Sosial), masih banyak lagi alumni yang menjadi orang penting / pejabat. Seiring dengan lajunya perkembangan zaman dan pembangunan, SMP Negeri 1 Magelang telah mengalami pergantian kepemimpinan sekolah, sejaka masa penjajahan Jepang tahun 1942 sampai sekarang. Dapat dijelaskan tentang nama-nama Kepala Sekolah :
Kepala Sekolah Pertama : Bp. Soetedjo Atmodipoerwo ( 1942 - 1944 ) Kepala Sekolah Kedua : Bp. P. Siagian ( 1944 - 1946 ) Kepala Sekolah Ketiga : Bp. M.S. Hadisapoetro ( 1946 - 1953 ) Kepala Sekolah Keempat : Bp. Widyo Sapoetro ( 1953 - 1963 ) Kepala Sekolah Kelima : Bp. R.I. Soewarno ( 1963 - 1965 ) Kepala Sekolah Keenam : Ibu Rr. Soekarlina ( 1965 - 1972 ) Kepala Sekolah Ketujuh : Bp. Soenarto ( 1972 - 1983 ) Kepala Sekolah Kedelapan : Bp. Joko Sulih ( 1983 - 1989 ) Kepala Sekolah Kesembilan : Ibu Moeslikah ( 1989 - 1990 ) Kepala Sekolah Kesepuluh : Ibu Hj. Dra. Armani ( 1990 -1994 ) Kepala Sekolah Kesebelas : Bp. Sutrisno ( 1994 - 1999 ) Kepala Sekolah Keduabelas : Ibu Th. Sri Ambarwati ( 1999 - 2004 ) Kepala Sekolah ketigabelas : Bp. Toto Karta Gunawan, S.H. (PLH 2004) Kepala Sekolah Keempatbelas : Bp. Drs. Harry Sumaryanto, M.Pd. ( 2004 - 2006 ) Kepala Sekolah Kelimabelas : Bp. Papa Riyadi, S.Pd., M.Pd ( 2006 - Sekarang) Telah disebutkan dimuka bahwa pada waktu berdiri hanya memiliki 4 kelas. Oleh karena kemajuan pembangunan, saat ini SMP Negeri 1 Magelang telah memiliki 21 ruang kelas dan ruang-ruang pendukung lainnya. Hal ini sesuai dengan perubahan tipe sekolah, dari tipe C menjadi tipe B (SK. Dirjen Dikmenum No. 443/C/Kep/I/1993, tanggal 21 September 1993). Selain fisik, prestasi akademik maupun non - akademik yang diraihpun selalu meningkat, baik ditingkat Kota, Provinsi, Nasional maupun Internasional. Dan sekarang 2012 smp 1 mgl, sudah 100 tahun bangunannya

Profil Rantai Kentjana

RANTAI KENTJANA adalah sebuah organisasi intra sekolah yang dibentuk atas prakarsa Bapak Almarhum Soetedjo Atmodipoerwo pada pertengahan tahun 1942, saat beliau sebagai direktur SMP Magelang pada zaman pendudukan Jepang. Maksud didirikanya orgainsasi ini waktu itu adalah untuk sebagai antidotum (penangkal) dari adanya wabah men-Jepangkan semua kegiatan pelajar saat itu. Nama Rantai Kenjtana diambil dari istilah zaman lampau “De Gulden Keten”. Diibaratkan rantai itu organisasi keseluruhan dan mata rantai anggota masing-masing. "Kekuatan keseluruhan organisasi ditentukan oleh kekuatan mata rantai yang terlemah". Pesan yang ingin disampaikan: "Hendaknya tiap-tiap mata rantai berusaha agar dirinya kuat dan terpelihara dengan baik demi tercapainya kekuatan lebih besar bagi rantainya".
Tujuan utama pendirian organisasi sekolah tersebut untuk menampung dan sebagai wadah bagi kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler dan sebagai wadah bagi Magelang, yang pada waktu zaman Jepang dinamakan CHU GAKKO. Di samping itu juga untuk menyalurkan bakat dan kegiatan-kegiatan olahraga, kesenian dan sosial budaya. Selain itu juga tempat memupuk dan menanamkan semangat kebangsaan, semangat cinta tanah air, menumbuhkan rasa kesetiakawanan dan kegotongroyongan di antara murid.
Dalam mencapai tujuannya dilandaskan pada lima prinsip utama yang menjadi falsafah dasar Rantai Kentjana yaitu :
Setia kepada Tuhan Yang Maha Esa Setia kepada Nusa dan bangsa Setia kepada Orang Tua Setia kepada Guru Setia kepada Sesama Kawan

Lambang rantai Kenjtana dicipta oleh Saudara Wahyu Soekotjo. Makna yang terkandung dalam lambang tersebut sebagai berikut :
Segitiga berlatar belakang warna hijau dengan pelisir warna kuning bermakna Rantai Kenjtana akan selalu berpegang pada tiga prinsip dasar dalam kehidupah bermasyarakat, yaitu: Pertama : Keyakinan adanya tuhan Yang Maha Esa Kedua : Pengabdian kepada Nusa dan bangsa Ketiga : Hormat serta cinta Kasih Kepada Orang Tua dan Guru
Sedangkan warna dasar kuning mempunyai arti keagungan dan kebesaran jiwa, dan hijau melambangkan kedamaian dan kesejahteraan lahir dan batin. Lima mata rantai yang saling mengkait yang terdapat di dalam segitiga menggambarkan watak dan sifat kekeluargaan yang berintikan rasa kesatuan dan persatuan abadi. Tulisan SMP yang terdapat dalam lingkaran mata rantai teratas bermakna almamater tempat kita menimba ilmu, tempat kita saling berjabat tangan, belajar bersama, bergembira bersama dan mengejar cita-cita.

Sejarah Rantai Kentjana

Semenjak kejatuhan sekutu oleh pasukan Jepang pada tahun 1942 maka terjadi perubahan yang mendasar dari kurikulum dan sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia. Itulah yang sempat membuat kegiatan belajar mengajar sempat terhenti. Akan tetapi setelah melalui tahap persiapan selama 4 bulan, maka pada bulan Juni 1942 sekolah mulai dibuka lagi oleh pemerintah.
Pasca persiapan sistem dan kurikulum baru tersebut, maka secara bertahap sekolah-sekolah mulai dibuka. Baik itu dari tingkat dasar, menengah maupun kejuruan serta tingkat tinggi. Begitu pula di Magelang. Sejak Juni 1942 mulai dipersiapkan dibukanya kembali sebuah sekolah tingkat menengah dengan nama "Syoto Chu Gakko".
Pada masa Hindia Belanda di Magelang terdapat 3 sekolah tingkat menengah, ialah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) pertama dikelola oleh Gubernemen, kedua oleh Yayasan Kristen dan yang ketiga kepunyaan Perguruan Taman Siswa. Ada juga sekolah setingkat sekolah menengah ialah MOSVIA (Midlebare Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren), sekolah yang mendidik calon-calon pamong praja.
Pada saat dibukanya SMP Magelang yang letaknya di Jalan Boton, telah memiliki 3 atau 4 kelas dengan jumlah guru hanya 4 orang, masing-masing Soetedjo Atmodipoerwo merangkap sebagai direktur yang dibantu 3 guru lainnya ; Soediwan, Mardiyo, dan P Siagian. Dengan penerapan kurikulum Jepang, maka belajar bahasa Jepang menjadi suatu kewajiban. Selain itu harus melakukan tata upacara Jepang seperti Seikerei. Seragam putih putih dengan pet putih dan rambut harus dipotong hingga plontos. Masa belajar hanya 4 atau 5 hari, karena pada hari Jum'at dan atau Sabtu melakukan kegiatan Kinrohoshi (semacam kerja bakti ke luar halaman sekolah, seperti tangsi militer, membuat lubah perlindungan, mengumpulkan biji jarak,dll).
Tanpa disadari latihan baris berbaris dan perang-perangan dapat menumbuhkan jiwa penuh disiplin dan mulailah berkembang kesadaran dan cinta tanah air, semangat patriotisme, serta kesediaan untuk berkorban bagi nusa dan bangsanya. Di sinilah cikal bakal munculnya semangat dengan cita-cita membebaskan negeri dari kungkungan penjajah. Hingga melahirkan pejuang-pejuang muda yang aktif dalam perjuangan fisik maupun diplomasi yang beberapa di antara mereka menjadi pahlawan yang berguguran di medan pertempuran dalam memperjuangkan kemedekaan bangsa dan negara.
Salah satu pahlawan yang akhirnya tempat dimana beliau gugur dibangun Tugu Pahlawan Rantai Kentjana adalah Prapto Kecik. Pada waktu itu tanggal 31 Oktober 1945 terjadi kontak senjata antara Prapto Kecik dengan pasukan Jepang yang sedang melakukan teror berdarah di sekolah. Demi membela Almamater, kawan-kawan dan guru yang saat itu terancam jiwanya oleh pasukan teror Jepang, beliau rela mengorbankan jiwanya. Akhirnya tempat dimana beliau gugur; di salah satu sudut halaman dalam sekolah, dibangun monumen atas inisiatif murid-murid sendiri pada tahun 1947. Inilah yang melambangkan kepeloporan dan patriotisme pelajar waktu itu.
Para Eks Ketua Rantai Kentjana SMP Magelang (dari zaman Jepang - prakemerdekaan s/d thn 1948):
Nakoela Soenarta : 1942 - 1943 Soetarno : 1943 - 1944 Soetarto : 1944 - 1945 Moch Mahmud : 1945 - 1946 Soetardjo : 1946 - 1947 Soekarno : 1947 - 1948 Setelah itu praktis kepengurusan Rantai Kentjana di Sekolah SMP Magelang berakhir/terputus karena perang kemerdekaan II. Dan tidak lagi ada komunikasi dan informasi lengkap dari SMP sendiri.

Minggu, 09 September 2012

Taman Badaan

Taman Badaan, begitu masyarakat setempat menyebut taman bermain ini, mempunyai letak yang strategis. Hanya membutuhkan waktu 5 menit perjalanan dari alun-alun Kota Magelang, yaitu di Jalan Pahlawan, Kota Magelang.
Luas taman ini sendiri tidak begitu besar, hanya sekitar 1.000 meter persegi. Namun taman ini mempunyai keunggulan dalam fasilitas permainan yang ada di dalamnya yang sangat beragam. Hal inilah yang membuat taman ini tidak pernah sepi pengunjung.
Disamping itu, area Taman Badaan ini juga dipenuhi dengan jajanan kuliner khas Magelang seperti Gulali, Kacang Godhog, Wedang Rondhe, Bakso Kerikil dll. Keberadaan taman ini juga sangat bermanfaat bagi warga sekitar untuk menghabiskan waktu sore hari atau saat liburan bersama kerabat mereka. Selain itu, tidak sedikit juga warga pendatang yang menjadikan taman ini sebagai tempat peristirahatan perjalanan mereka.
Pemerintah Kota Magelang berhasil menata Taman Badaan yang dahulunya hanyalah taman biasa berisikan beberapa tanaman hias, tempat duduk kayu, beberapa ayunan dan prosotan, patung-patung binatang, dan hamparan rumput jepang. Pemerintahan setempat menambahkan beberapa permainan modern yang menyenangkan seperti becak mini, odong-odong, kereta mini, dan juga lebih menghias taman ini dengan beberapa tanaman hias dan kolam ikan. Sesekali juga ditampilkan atraksi badut dan sulap untuk lebih memanjakan pengunjung taman.
PKL (Pedagang Kaki Lima) di sekitar taman pun tidak luput dari perhatian pemerintahan setempat. Sejumlah pedagang ditata agar dapat mewujudkan suasana yang nyaman.
Taman Badaan ini merupakan langkah pembuka pemerintahan setempat untuk mewujudkan slogan Kota Magelang yaitu ‘Kota Sejuta Bunga’.

Borobudur

Lingkungan sekitar

Borobudur, Pawon, dan Mendut terbujur dalam satu garis lurus yang menunjukan kesatuan perlambang
Terletak sekitar 40 kilometer (25 mil) barat laut dari Kota Yogyakarta, Borobudur terletak di atas bukit pada dataran yang dikeliling dua pasang gunung kembar; Gunung Sundoro-Sumbing di sebelah barat laut dan Merbabu-Merapi di sebelah timur laut, di sebelah utaranya terdapat bukit Tidar, lebih dekat di sebelah selatan terdapat jajaran perbukitan Menoreh, serta candi ini terletak dekat pertemuan dua sungai yaitu Sungai Progo dan Sungai Elo di sebelah timur. Menurut legenda Jawa, daerah yang dikenal sebagai dataran Kedu adalah tempat yang dianggap suci dalam kepercayaan Jawa dan disanjung sebagai 'Taman pulau Jawa' karena keindahan alam dan kesuburan tanahnya.[14]

Tiga candi serangkai

Selain Borobudur, terdapat beberapa candi Buddha dan Hindu di kawasan ini. Pada masa penemuan dan pemugaran di awal abad ke-20 ditemukan candi Buddha lainnya yaitu Candi Mendut dan Candi Pawon yang terbujur membentang dalam satu garis lurus.[15] Awalnya diduga hanya suatu kebetulan, akan tetapi berdasarkan dongeng penduduk setempat, dulu terdapat jalan berlapis batu yang dipagari pagar langkan di kedua sisinya yang menghubungkan ketiga candi ini. Tidak ditemukan bukti fisik adanya jalan raya beralas batu dan berpagar dan mungkin ini hanya dongeng belaka, akan tetapi para pakar menduga memang ada kesatuan perlambang dari ketiga candi ini. Ketiga candi ini (Borobudur-Pawon-Mendut) memiliki kemiripan langgam arsitektur dan ragam hiasnya dan memang berasal dari periode yang sama yang memperkuat dugaan adanya keterkaitan ritual antar ketiga candi ini. Keterkaitan suci pasti ada, akan tetapi bagaimanakah proses ritual keagamaan ziarah dilakukan, belum diketahui secara pasti.[10]
Selain candi Mendut dan Pawon, di sekitar Borobudur juga ditemukan beberapa peninggalan purbakala lainnya, diantaranya berbagai temuan tembikar seperti periuk dan kendi yang menunjukkan bahwa di sekitar Borobudur dulu terdapat beberapa wilayah hunian. Temuan-temuan purbakala di sekitar Borobudur kini disimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur, yang terletak di sebelah utara candi bersebelahan dengan Museum Samudra Raksa. Tidak seberapa jauh di sebelah utara Candi Pawon ditemukan reruntuhan bekas candi Hindu yang disebut Candi Banon. Pada candi ini ditemukan beberapa arca dewa-dewa utama Hindu dalam keadaan cukup baik yaitu Shiwa, Wishnu, Brahma, serta Ganesha. Akan tetapi batu asli Candi Banon amat sedikit ditemukan sehingga tidak mungkin dilakukan rekonstruksi. Pada saat penemuannya arca-arca Banon diangkut ke Batavia (kini Jakarta) dan kini disimpan di Museum

Rabu, 05 September 2012

Alun-alun Kota Magelang

Alun-alun Kota dijadikan sebagai pusat Kota Magelang karena letaknya yang sangat strategis di tengah kota. Banyak sekali kendaraan angkutan kota dengan berbagai jalur melewatinya. Dari alun-alun ini orang dapat menjangkau Pecinan atau Jl. Pemuda. Kawasan Pecinan merupakan salah satu kawasan pusat perdagangan di KOta Magelang, yang sudah ada sejak zaman pemerintah Kolonial Belanda. Di sekelilingnya berdiri banyak sekali pusat perbelanjaan dan tempat umum lainnya. Di sebelah timurnya ada Matahari dan Gardena swalayan serta Magelang Theatre yang merupakan satu-satunya bioskop yang ada. Di sebelah utaranya berdiri dengan megah Trio Plaza dan Bank BCA. Selain kedua bangunan tersebut, di sisi utara juga terdapat gereja untuk pemeluk agama kristen. Sementara di sebelah selatan ada Kantor Polresta Magelang, Bank Jateng dan klenteng Magelang. Sementara di sebelah barat atau yang sering disebut alun-alun barat ada sebuah masjid yang terbesar di Magelang, tempat ini sering dinamakan Kauman. Sebelah utara Kauman, terdapat gereja katholik dan pastoran. Alun-alun Kota Magelang selain sebagai pusat kegiatan publik, juga dipandang sebagai simbol kerukunan beragama, yaitu dengan adanya beberapa sarana peribadatan untuk agama Islam, Ketholik, Kristen dan Konhuchu. Sementara di sudut sebelah barat laut ada menara air yang merupakan peninggalan Belanda. Menara air ini menjulang setinggi lebih kurang 15 m. Dan sekarang ini menara tersebut digunakan oleh PDAM Kota Magelang sebagai tempat penampungan air yang sanggup memenuhi kebutuhan akan air bagi warga Kota Magelang. Menara air minum, dengan desain kolonial yang unik, saat ini djadikan sebagai salah satu land mark Kota Magelang. Alun-alun ini sekarang dibuka untuk umum bagi warga Magelang. Biasanya digunakan untuk bersantai di sore hari, tempat penyelenggaraan konser band atau untuk upacara hari besar kenegaraan. Namun alun-alun ini sebelumnya tidak dibuka untuk umum dan hanya digunakan untuk upacara-upacara tertentu. Pada tahun 2002, Pemerintah Kota Magelang menyusun Master Plan Alun-Alun Kota Magelang, yang kemudian dijadikan sebagai dasar untuk kegiatan renovasi Alun-Alun. Konsep dasar master plan tersebut adalah untuk menjadikan Alun-Alun sebagai pusat kegiatan publik bagi warga kota.

TAMAN KYAI LANGGENG



Berlokasi sekitar 1 kilometer dari pusat kota Magelang, tepatnya ke arah selatan atau  sekitar 19 Kilometer dari Candi Borobudur. Taman Kyai Langgeng memiliki luas sekitar 28 hektar, Taman wisata ini memiliki ratusan koleksi tanaman langka yang bisa dimanfaatkan sebagai obyek penelitian. 
Kyai Langgeng adalah sebuah nama yang diambil dari nama salah seorang pejuang dibawah pimpinan Pangeran Diponegoro, Salah satu diantara Pahlawan Kemerdekaan Indonesia yang berjuang dengan gagah berani melawan penjajahan Belanda.


Dasar dijadikannya sebuah Taman dengan menggunakan nama Kyai Langgeng karena Beliau, dimakamkan di kawasan ini. Makam tersebut masih ada dan terawat hingga sekarang ini. Berkunjung ke Tempat Wisata lokal yang satu ini merupakan suatu keasyikan tersendiri. Selain taman yang ditata secara rapi, ternyata banyak sekali tawaran kenikmatan dengan keunikan-keunikan yang dimiliki dan fasilitas-fasilitas lain tersedia di dalamnya. Suatu pesona panorama alam yang sangat eksotis yang dapat mengisi "kekosongan jiwa" para penikmatnya.
Sebagai tempat wisata lokal andalan Kota Magelang, Selain memiliki koleksi hewan dan tanaman langka. Taman Kyai langgeng  juga merupakan perpaduan antara pariwisata dan pendidikan,terbukti dengan adanya perpustakaan yang bersih dan tertata rapi yang peresmiannya dibuka oleh menteri pendidikan bapak Prof. DR.Bambang Sudibyo. perpustakaan ini lebih akrab disebut “Desa Buku”. 

Desa Buku memiliki koleksi buku buku yang dapat dinikmati para pengunjung. Kehadiran Desa Buku diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan wisatawan sembari menikmati keindahan alam Taman Kyai Langgeng.


Taman Kyai Langgeng memiliki beberapa wahana permainan bagi para wisatawan yang menyukai tantangan dan petualangan. Dengan harga terjangkau, para pengunjung dapat menikmati permainan Flying Fox, Jetcoaster, arung jeram, kolam renang dan banyak lagi wahana permainan yang mengasyikan untuk keluarga. 
Bagi para wisatawan yang menginginkan wisata alam yang dengan nuansa berbeda, maka Taman kyai langgeng ini adalah pilihan yang pas bagi anda beserta keluarga, Karena di sini anda akan mendapatkan nilai lebih dari sekedar berwisata maupun refreshing saja.

Turangga Titihan Sekaring Bawana

Di alun-alun Kota Magelang terdapat patung Pangeran Diponegoro sedang berkuda. Saya sudah terkesima dengan patung ini bahkan ketika baru lancar membaca. Apa hubungannya patung ini dengan bacaan? Karena sebuah tulisan di bawahnya: turangga titihan sekaring bawana. Artinya: kuda tunggangan kembang dunia! Saya terpana pada kalimat itu.
Di kali yang lain, di alun-alun ini saya pernah kehabisan uang dan kelaparan. Patung itulah yang menggugah saya dengan semangatnya. Dalam pandangan saya waktu itu, patung ini adalah karya seni yang sempurna. Kuda itu gagah sekali. Jika kudanya saja gagah, apalagi penunggangnya. Itulah Pangeran Diponegoro, tokoh yang namanya memaksa penyair seangkuh Chairil Anwar harus menulis sajak untuknya. Tokoh yang makamnya amat jauh dari kota kelahirannya. Saya pernah berziarah di makam itu, di Makasar sana dan merenung: hidup dan mati memang sedekat urat leher. Tapi jarak antara tempat kelahiran dan tempat kematian bisa seluas samudera.
Di patung itu, Pangeran tampak gagah di atas kuda, matanya tajam sambil jarinya menunjuk ke kejauhan. Itulah jari yang barangkali sedang menuding preman-preman pribumi yang mematoki tanah saudaranya sendiri atas perintah Kumpeni. Dan meskipun Diponegoro menunjukkan kemarahnnya sejak tahun 1825 atas premanisme, watak itu masih merajalela hingga kini.
Pemilik jari itulah yang di Magelang, mencium untuk pertama kali bahaya pejajahan. Penciuman semacam itulah yang saya sebut sebagai visi. Tapi meksipun indera penciuman atas pejajahan itu telah ia ajarkan sejak lama, keterjajahan masih berlangsung hingga kini. Karena harga yang jatuh di pasar bursa Amerika, rupiah pula yang ikut menangung derita. Kita yang memiliki tambang, tetapi kepada kita cuma kebagian bagi hasilnya.
Kita kembali pada kalimat itu, turangga titihan sekaraning bawana, kuda tungangan sang kembang jagat itu. Pada imajinasi saya watu itu, turangga adalah pihak yang menjadi daya tarik pertama saya. Terlebih lagi kalimat ini memang mendahulukan sang kuda katimbang penunggangnya. Ada apa dengan kuda, pikir saya. Oo, bukan sembarang kedua, melainkan kuda tunggangan seorang kesatria yang menggemparkan Indonesia. Seorang yang lahir dari desa kecil tetapi harus membuat Belanda menguras brankas untuk membiaya sebuah perang yang melelahkan. Diponegoro memang kalah, tetapi tak surut kekaguman saya kepadanya karena selalu ada kekalahan yang juara. Dan kepada para juara, ada kehormatan penuh yang siaga senantiasa.
Dan sang Juara itu telah memilih kudanya. Ia seperti Michael Scumacher yang yang telah memilih mobil Formulanya. Bahkan kursi kemudinya pun pasti layak dikoleksi. Maka patung kuda itu bisa tetap berlama-lama. Karena tidak sembarang mobil Scumacher sudi menaiki. Tak sembarang kuda Diponegoro mau menunggangi. Ia pasti kuda yang dalam bahasa KiTimbul, dalang sepuh Yoga, sebagai kuda yang sudah katara, katari dan katarimah, kuda yang sudah terlihat, terseleksi dan akhirnya terterima. Kuda yang baik, memang langsung katara, terlihat dari tongkrongannya, begitu juga orang yang baik. Tetapi tongkrongan saja bisa menipu jika ia tidak katari, jika tidak diteliti, ditawari, diseleksi, diuji, digosok, digesek, dan dipoles sedemikan sampai akhinya lolos dan katarimah, diterima, disetujui dan percayai.
Patung kuda itu memang memenjara saya dalam kekaguman karena bahkan ia disebut pertama dan baru menyusul penunggangnya. Tapi ternyata selalu ada pihak yang sengaja disebut pertama cuma untuk menegaskan kehormatan pihak kedua. Jadi di manapun nomor urut Anda, tak penting benar sepanjang Andalah pemilik kehormatan itu. Ia akan mengalir ke mana-mana. Walau orang lain disebut pertama, percayalah, ia cuma untuk mengingatkan Anda sebagai pusatnya. Jadi jika engkau telah menjadi kembang jagat raya, apa yang ada di dekatmu, akan menjadi terciprati harumnya tak peduli ia cuma seekor kuda.

KLENTENG LIONG HOK BIO



Jika anda berkunjung ke Magelang, luangkan waktu untuk datang ke sebuah klenteng di jalan Alun-Alun Selatan nomor 2 Magelang. Klenteng Liong Hok Bio.
Klenteng anggun ini sangat istimewa karena arsitekturnya unik dan masih utuh. Hanya beberapa bagian saja yang mengalami renovasi.
Bisa dibilang, Liong Hok Bio adalah klenteng kebanggaan masyarakat Magelang yang menyimpan banyak sejarah. Klenteng ini menjadi saksi perjuangan masyarakat Tionghoa yang ikut serta melawan penjajah Belanda dalam perang Jawa, yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro.