Di alun-alun Kota Magelang terdapat patung Pangeran Diponegoro sedang
berkuda. Saya sudah terkesima dengan patung ini bahkan ketika baru
lancar membaca. Apa hubungannya patung ini dengan bacaan? Karena sebuah
tulisan di bawahnya: turangga titihan sekaring bawana. Artinya: kuda tunggangan kembang dunia! Saya terpana pada kalimat itu.
Di kali yang lain, di alun-alun ini saya pernah kehabisan uang dan
kelaparan. Patung itulah yang menggugah saya dengan semangatnya. Dalam
pandangan saya waktu itu, patung ini adalah karya seni yang sempurna.
Kuda itu gagah sekali. Jika kudanya saja gagah, apalagi penunggangnya.
Itulah Pangeran Diponegoro, tokoh yang namanya memaksa penyair seangkuh
Chairil Anwar harus menulis sajak untuknya. Tokoh yang makamnya amat
jauh dari kota kelahirannya. Saya pernah berziarah di makam itu, di
Makasar sana dan merenung: hidup dan mati memang sedekat urat leher.
Tapi jarak antara tempat kelahiran dan tempat kematian bisa seluas
samudera.
Di patung itu, Pangeran tampak gagah di atas kuda, matanya tajam sambil
jarinya menunjuk ke kejauhan. Itulah jari yang barangkali sedang
menuding preman-preman pribumi yang mematoki tanah saudaranya sendiri
atas perintah Kumpeni. Dan meskipun Diponegoro menunjukkan kemarahnnya
sejak tahun 1825 atas premanisme, watak itu masih merajalela hingga
kini.
Pemilik jari itulah yang di Magelang, mencium untuk pertama kali bahaya
pejajahan. Penciuman semacam itulah yang saya sebut sebagai visi. Tapi
meksipun indera penciuman atas pejajahan itu telah ia ajarkan sejak
lama, keterjajahan masih berlangsung hingga kini. Karena harga yang
jatuh di pasar bursa Amerika, rupiah pula yang ikut menangung derita.
Kita yang memiliki tambang, tetapi kepada kita cuma kebagian bagi
hasilnya.
Kita kembali pada kalimat itu, turangga titihan sekaraning bawana,
kuda tungangan sang kembang jagat itu. Pada imajinasi saya watu itu,
turangga adalah pihak yang menjadi daya tarik pertama saya. Terlebih
lagi kalimat ini memang mendahulukan sang kuda katimbang penunggangnya.
Ada apa dengan kuda, pikir saya. Oo, bukan sembarang kedua, melainkan
kuda tunggangan seorang kesatria yang menggemparkan Indonesia. Seorang
yang lahir dari desa kecil tetapi harus membuat Belanda menguras brankas
untuk membiaya sebuah perang yang melelahkan. Diponegoro memang kalah,
tetapi tak surut kekaguman saya kepadanya karena selalu ada kekalahan
yang juara. Dan kepada para juara, ada kehormatan penuh yang siaga
senantiasa.
Dan sang Juara itu telah memilih kudanya. Ia seperti Michael Scumacher
yang yang telah memilih mobil Formulanya. Bahkan kursi kemudinya pun
pasti layak dikoleksi. Maka patung kuda itu bisa tetap berlama-lama.
Karena tidak sembarang mobil Scumacher sudi menaiki. Tak sembarang kuda
Diponegoro mau menunggangi. Ia pasti kuda yang dalam bahasa KiTimbul, dalang sepuh Yoga, sebagai kuda yang sudah katara, katari dan katarimah, kuda yang sudah terlihat, terseleksi dan akhirnya terterima.
Kuda yang baik, memang langsung katara, terlihat dari tongkrongannya,
begitu juga orang yang baik. Tetapi tongkrongan saja bisa menipu jika ia
tidak katari, jika tidak diteliti, ditawari, diseleksi, diuji, digosok,
digesek, dan dipoles sedemikan sampai akhinya lolos dan katarimah,
diterima, disetujui dan percayai.
Patung kuda itu memang memenjara saya dalam kekaguman karena bahkan ia
disebut pertama dan baru menyusul penunggangnya. Tapi ternyata selalu
ada pihak yang sengaja disebut pertama cuma untuk menegaskan kehormatan
pihak kedua. Jadi di manapun nomor urut Anda, tak penting benar
sepanjang Andalah pemilik kehormatan itu. Ia akan mengalir ke mana-mana.
Walau orang lain disebut pertama, percayalah, ia cuma untuk
mengingatkan Anda sebagai pusatnya. Jadi jika engkau telah menjadi
kembang jagat raya, apa yang ada di dekatmu, akan menjadi terciprati
harumnya tak peduli ia cuma seekor kuda.
0 komentar:
Posting Komentar